Sabtu, 21 Januari 2012

Nilai ,Moral Dan Norma


Tidak seorangpun mampu melepaskan diri dari hakekat kodrati manusia sebagai insan yang dapat dididik dan belajar sepanjang hayat (educated human being), sehingga dinamik berubah sepanjang masa.Pengalaman hidup manusia (life experiences) adalah pengalaman belajar manusia yang dari waktu/kondisi/tempat ke waktu/kondisi/tempat mengembangkan potensi diri dan kehidupan kita baik dalam arus posiitif maupun arus negatif.
Hakekat lain yang tidak bisa dihindari manusia ialah selaku social and political human being, dimana sejak lahir kita hidup "in group" dalam keluarga dan masyarakat yang ahirnya berbangsa – bernegara (Zoon politicon, organized political man). Lembaga-lembaga tadi disamping merupakan wadah/rumah bagi manusia juga merupakan institusi pembina – penegak dan pengembang ipoleksosbudag yang amat potensial. Namun makin kini ketiga lembaga itu makin kurang berfungsi (melonggar) dan bahkan ada kecendrungan dihilangkan.
Bahwa Potensi diri manusia yang Illahiah yang dibawa setiap manusia meliputi potensi badaniah dan rohaniah. Melalui berbagai kajian pakar pendidikan dan psikologis, potensi rohaniah dikatagorikan kedalam tiga potensi dasar yakni Daya Intelektual/Nalarr (dengan 6 potensi ); daya afektual (8 potensi afektual) dan Psikomtorik (8 potensi), sehingga keseluruhannya meliputi 22 potensi.
Dalam Dunia Pendidikan (terutama pendidikan formal) secara kurikuler rumusan sosok keluarannya dinyatakan harus utuh bulat (ragawi dan rohaniah) namun secara programatik – prosedural maupun realita keluarannya (outcomes) bersifat parsial. Totalitas diri anak didik hampir tidak pernah dibelajarkan secara kaffah. Target penyelesaian bahan ajar yang konseptual teoritik – keilmuan/normative atau structural disipliner dan target nilai angka (marking) atau NEM tinggi yang diiringi ketidak tahuan/profesionalan guru melahirkan pendidikan dan pembelajaran parsial. Masalah potensi ragawi dan nilai – moral serta norma hampir tidak pernah masuk hitungan termasuk dalam program khusus MKU (PKN, PAI, dll).
Tidak Profesionalnya guru, disamping pola pembelajaran – pelatihan professional skills yang kurang terutama dikarenakan ketentuan formal dan system seperti a.l. wajib mengajar minimal 19 jampel di satu sekolah, sistim penempatan guru, guru SD adalah guru kelas (baca "Guru 7 mata pelajaran" ! ). Maka oleh karenanya tidaklah mustahil apa yang dikemukakan McLuhan (teori Pendulum) besok lusa akan berwujud, yakni manusia yang cerdas otaknya namun tumpul emosinya. Potret ini disejumlah tempat sudah mulai nampak. Proses emoting – minding, spiritualizing, valuing dan mental round trip dikalahkan oleh proses thinking and rationalizing. Pembelajaran berlandaskan nilai moral yang normative/ luhur/suci/religius kalah oleh pembelajaran theoretic – conceptual based dan perhitungan untung rugi rasional – keilmuan dan atau yuridis formal. Potret ini sudah juga nampak dalam pendidikan informal cq. kehidupan keluarga, pembinaan dan pendidikan anak (termasuk agama dan budi luhur) mulai kurang diperdulikan dan sudah sepenuhnya diserahkan kepada instansi lain cq. Guru dan sekolah. Rumah dan keluarga mulai tererosi dari status dan role behavior bakunya (agamis & cultural) dan hanya menjadi "symbol terminal berkumpul dan sumber status social – ekonomi" bagi warganya. Bagi keluarga yang sudah masuk "super developed/ nuclear – family" perkawinan hanya dimaknai sebagai lembaga/media untuk memenuhi kebutuhan biologis dan social ekonomis saja. Demikian halnya dalam berbangsa dan bernegara, hanya dianggap keharusan otomatik (opinio necesitatic) tanpa diiringi oleh rasa-emosi lain (sense of integrity, patriotism dan proudnes, dll ). Allohuma Nauzubillahi min zaalik !.
Dalam kehidupan masa lampau generasi usia 50/60 th keatas, apa yang diuraikan di atas boleh dibilang "tabu" dalam pendidikan keluarga, seluruh perangkat tatanan nilai – moral dan norma agama ( dan budaya agama), adat budaya (cultural heritages) dan bahkan nilai moral metafisis dengan segala "pro & contranya" hadir secara utuh menjadi tonggak pokok untuk segala hal serta beruwjud dalam berbagai bentuk (materiil – imateriil, personal, kondisional dan behavioral/ceremonial) . Dunia pendidikan formalpun (Program, buku, guru, pimpinan, system dan kondisional) turut mengukuhkan kehidupan tadi. Buku paket IPS ("Matahari Terbit") dan seni budaya daerah (Panyungsi Bahasa, Didi – Yoyo; Rusdi Misnem dll) sekaligus membawakan misi dan isi pesan budi luhur (adat dan agama). Sekarang ini, gejolak iptek yang kian ganas melalui multi media elektronik – cetak dengan segala "keindahan – kemewahan dan kemudahannya" yang serba "waah" berikut tuntutan materiilnya yang cukup tinggi, melahirkan kehidupan keluarga yang sarat keinginan dan kesibukan sebagaimana "pola kehidupan (life style) modern" yang pada ahirnya secara perlahan namun pasti membawa kearah rasionalisme, sekulerisme yang materialistic dan egoistic serta mulai menggeser dan mengerosi standard baku yang ada, termasuk didalam kehidupan keluarga kita !
Norma acuan, Dimensi dan System kehidupan manusia
Gambaran hakekat kodrati manusia (Illahiah/Natural dan Sospol) dalam uraian terdahulu, melukiskan hakekat manusia yang serba potensial dan sarat keterbatasan. Dalam kehidupannya sebagai insan social diperkaya dengan seperangkat kodrat social sesuai dengan status dan peran laku harapannya (expected role behavior), Beberapa sifat kodrati insan social ini ialah a.l. selalu berkelompok (group base), kontekstual/ kondisional, bersifat mono multiplex/pluralistic, insan politik yang terorganisir (zoon politicon, organized political man), insan yang terikat dalam sejumlah lingkaran kehidupan (life cycles) yang multi aspek dan multi waktu. John Locke, mengemukakan 5 sifat natural manusia dalam posisinya sebagai organized political man; yakni : suka dihormati, cinta kekuasaan, merasa pintar, ingin selamat dan hidup abadi. Kelima hal ini ditampilkan setiap diri manusia yang normal dalam kehidupannya, dan bila tidak dikendalikan kelima hal tadi akan berwujud menjadi: gila hormat, gila kekuasaan, sok pintar, cari selamat/aman (anti risiko) dan takut mati. (silahkan anda renungi/kaji diri anda sendiri ).
Kedua hakekat kodrati tadi dengan diintervensi oleh tempat – waktu dan kondisi, berinteraksi/berinteradiasi dan menyebabkan proses perkembangan manusia serta melahirkan produk the real thing of man/human being. Proses perkembangan tadi tidak bersifat normless, melainkan terikat dan atau terkendali oleh seperangkat tatanan norma-acuan (norm refrences). Dalam masyarakat Indonesia ada/berlaku 6 norma acuan pokok yang menuntun/mengendalikan/mengharus kan diri dan kehidupan manusia ialah nroma/syariah agama, budaya agama, budaya adat/tradisi, hukum positif/negara, norma keilmuan, dan norma metafisis (hal ihwal diluar jangkauan kemampuan manusia, alam gaib – kepercayaan). Ke enam acuan normative tadi ada dalam setiap lingkaran dan aspek serta system kehidupan manusia. Dan setiap norma melahirkan acuan nilai dan moral. Norma adalah perangkat ketentuan/hukum/ arahan, dia bisa datang dari luar (eksternal) seperti dari Tuhan/Agama, negara/Hukum, masyarakat/adat dan bisa pula (yang terbaik ) datang dari dalam diri atau sanubari/qolbu kita sendiri. Norma yang sudah menjadi bagian dari hati nurani (suara hati = qolbu !) adalah norma dan nilai – moral yang sudah bersatu raga (personalized) dan menjadi keyakinan diri atau prinsip atau dalil diri & kehidupan kita. Nilai ( value = valere) adalah kualifikasi harga atau isi pesan yang dibawakan/tersurat/tersirat dalam norma tsb (a.l. Norma agama memuat nilai/harga haram – halal – dosa – dll) dan melekat pada seluruh instrumental input manusia (hal-hal yng materiil/imateriil, personal/impersonal, kondisional, behavioral). Sedangkan Moral/Moralita adalah tuntutan sikap – perilaku yang diminta oleh norma dan nilai tadi. Maka karenanya suatu norma dari suatu sumber bisa memuat nilai – moral positif maupun negatif dan jumlahnya amat banyak serta bersifat relatif/subjektif – instrumental yang mungkin pula kontradiktif satu dengan lainnya. Contoh simple misalnya Norma agama "dilarang mencuri" memuat nilai a.l. dosa, haram, neraka, dll; moralita yang dituntut jauhi, hindari, jangan dikerjakan.
Sedangkan yang kami maksudkan Sistem dalam kehidupan ialah apa yang dikemukakan oleh Talcot Parson, dimana menurutnya setiap organisme kehidupan (manusia, binatang, tanaman dll) memiliki 5 system; yakni: sistem nilai (value system), system budaya (cultural system); system social (social system), system personal (personal system) dan system organic (organic system).Maka karenanya Diri Manusia dan Astagatra kehidupan manusia yang bersifat organisme hidup tidak luput dari lima system tadi dan setiap system mengacu kepada 6 norma acuan yang ada/dianut/diyakni orang/masyarakat/kehidupannya.
Dari gambaran tadi jelas bahwa diri dan kehidupan manusia sarat/padat norma – nilai dan moral, tidak ada kehidupan yang "value free" (bebas nilai). Potret diri dan kehidupan di atas bila kita jabarkan secara matematis akan nampak sebagai berikut:
  1. Life Cycles manusia = 5 (diri, keluarga, masyarakat, bangsa/negara dan dunia)
  2. Aspek kehidupannya = 5 dimensi/aspek (Ipoleksosbudag)
  3. Sumber Norma acuannya ada 6
Dari tiga dimensi ini saja maka perangkat Nilai – Moral – Norma (NMNr) yang mengikat/mengendalikan diri & kehidupan manusia berjumlah (5 x 5) x 6 = 150 buah. 150 NMNr ini masih akan dikaitkan (dikalikan) dengan keberadaan 5 system dalam setiap organisme kehidupan (150 x 5 = 750 ) dan dikaitkan lagi dengan status dan peran laku manusia yang bersifat mono pluralistik yang jumlah n.
Yang lebih dahsyat lagi ialah bahwa antara komponen di atas (life cycles, aspek, sumber norma dan system) tidak selamanya rujuk dan sering/banyak bersifat kontras/paradoxal. Potret diri & kehidupan manusia dengan perangkat NMNr yang amat kompleks, sarat paradoxal dan kontekstual inilah yang menuntut kehadiran Pendidikan Nilai Moral, sehinggga manusia tetap value based sebagai insan bermoral (morally mature person atau a healthy person) dan kehidupannya tetap terkendali (conditioned). Dalam diri dan kehidupan yang bermoral (berahllak mulia) seluruh sistemnya ( 5 sistem) selalu mengacu kepada seluruh tatanan NMNr yang berlaku/diyakini diri & kehidupan nya, ybs memiliki pengalaman belajar (learning experiences) dan kemampuan (kompetensi) bagaimana dan kapan mengoptimalisasi dan meminimalisasikan perangkat NMNr tadi secara instrumental/kontekstual dan balance. Insan bermoral (berahlak mulia) disamping memakai kemampuan intelektualnya (intellectual intelligence) juga selalu melakukan proses emoting, spiritualisasi (spiritualizing) dan valuing terhadap seluruh dimensi norm reference yang ada (diyakini ybs dan atau kehidupannya) sebelum pengambilan keputusan (taking position). Proses ini makin kini makin rendah (dimensi norm referencesnya maupun value basesnya), dan hanya mengutamakan proses analisis – penilaian (evaluating bukan valuing) intelektual – rasional – konseptual saja. Dimensi norma acuannya cenderung ke keilmuan (umumnya ekonomik saja) dan atau hukum formal. Perhitungan ekonomik "murah – mahal" hanya dihitung rasional sebagai selisih harga dan "legal – illegal" nya juga bersifat rasional "karena secara formal melanggar/memenuhi ketentuan hukum" saja tanpa diiringi suara hati/qolbu (kasihan, penyesalan, rasa salah/dosa dll).
Jelas kiranya, orang yang tidak mengenal perangkat tatanan NMNr dan tidak/ jarang dibelajarkan potensi afektualnya (8 potensi) sulit untuk diminta menjadi manusia bermoral. Visi Pendidikan Nilai – Moral disamping membina, menegakkan dan Mengembangkan perangkat tatanan NMNr luhur (6 sumber Nr) adalah juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berahlak mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society). Pendidikan NMNr membawakan misi:
a. Memelihara/melestarikan dan membina NMNr menjadi 5 system kehidupan yang kait mengkait.
b. Mengklarifikasi dan merevitalisasi sub.a sebagai "moral conduct" diri dan kehidupan manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana ybs berada.
c. Memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia & kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm/ value based); Insan/Masyarakat bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian.
d. Membina dan menegakan "law and Order" serta tatanan kehidupan yang manusiawi – demokratis – taat azas.
e. Khusus di negara kita, disamping hal-hal di atas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang moderen namun tetap berkepribadian Indonesia (sebagaimana kualiifikasi UUSPN 2003).
Laju perkembangan iptek yang kian kini kian cepat dan agresif (melalui media cetak elektronik dan produk iptek yang sarat nilai tambah, mudah dan menyenangkan) mulai mereduksi dan mengerosi keberadaan/kelengkapan perangkat sumber norma acuan dan sekaligus pula mengerosi nilai – moralnya. Sumber normative dari Tuhan/Allah (agama), Alam dan budaya/adat serta yang metafisis mulai digeser dan atau diubah oleh sumber karya manusia yakni Ilmu dan Hukum serta teknologi. Iptek dan modernity secara inheren membawakan nilai – moral (karakteristik): added values, easiness, enjoy, rasionalism, sekulerism, materislism, individualism, kompetisi & conflict, spesialisasi, dll. Maka oleh karenanya NMNr kontras – paradoxal kian meningkat dan sering melahirkan "ketimpangan" dan atau kesenjangan keadaan/ kehidupan manusia yang kalau tidak mampu diseimbangkan maka muncul aneka keanehan, stress dan strook. Generation gap, friksi kehidupan rumah tangga dan masyarakat, gaya hidup (life style) yang "aneh", Hippies dll adalah buah pendidikan parsial yang meninggalkan pendidikan nilai – moral.
Berikut kami angkat beberapa statements para pakar Pendidikan Nilai yang mengungkapkan esensi Diknil:
"Value Education or none at all" (Phlips Comb)
"Value education is the central of human being" (Piaget, Aristoteles, dll)
"Janganlah berfikir sebelum kamu iman, dan jangan berbuat sebelum iman dan berfikir" (Imam Al Gazali).
"My country is the world, and my religion is to do good" (Thomas Paine)
Dan sebagai insan religius, kita yakini bahwa dalam rukun iman dan Islam yang diminta adalah percaya akan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar